TUGAS KEPERAWTAN GAWAT DARURAT
MAKALAH ASKEP GIGITAN ULAR
OLEH :
ELLA MARTHA LAUDYA
1301200019
POLTEKKES KEMENKES MALANG
PRODI D III KEPERAWATAN LAWANG
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Insiden kira
– kira 8000 orang terkena gigitan ular berbisa setiap tahun di Amerika Serikat,
dengan lebih 98% dari gigitan mengenai ekstremitas. Sejak tahun 1960, rata- rata 14 korban setiap tahun meninggal
di Amerika Serikat karena gigitan ular, dengan 70% kebanyakan di lima daerah
serikat termasuk Texas, Georgia, Florida, Alabama, dan California Selatan.
Di Amerika
Utara ular beracun merupakan anggota keluarga Crotalidae atau pit viper atau
dari keluarga elipidae atau ular karang. Keluarga ular Rattle bertanggung jawab
atas kira-kira 70% kematian karena gigitan ular, sementara kematian karena
gigitan ular jenis kepala kuning tembaga (copperhead) sangat jarang.
Ular berbisa
dibandingkan ular tak berbisa pit viper dinamakan demikian karena memiliki ciri
lekukan yang sensitif terhadap panas terletak antara mata dan lubang hidung
pada tiap sisi kepala. Pit viper juga memiliki pupil berbentuik elips,
berlainan dengan pupil bulatyang memiliki ular jenis tak bebahaya. Sebaliknya,
ular karang memiliki pupil bulat dan sedikit lekukan pada muka. Pit viper
memiliki gigi taring panjang dan sederet gigi subkaudal. Ular tak berbisa
banyak memiliki gigi dibanding dengan taring dan mempunyai dua deret gigi
subkaudal. Untuk membedakan ular karang berbisa dengan ular lain yang mirip
warnanya, harus diingat bahwa ular karang memiliki hidung berwarna hitam dan
memiliki juga guratan cincin warna merah yang berdampingan dengan warna kuning.
Bisa dari
ular berbisa mengandung hialuronidase, yang menyebabkan bisa dapat menyebar
dengan cepat melalui jaringan limfatik superfisisal. Toksin lain yang
terkandung dalam bisa ular, antara lain neurotoksin, toksin hemoragik dan
trombogenik, toksin hemolitik, sitotoksin, dan antikoagulan.
1.2 Tujuan
a. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami tentang gigitan ular dan mampu
memberikan asuhan keperawatan pada klien tersebut dalam kegawat daruratan.
b. Tujuan khusus
Mahasiswa mampu :
1. Memahami tentang definisi ggigitan ular
2. Memahami tentang etiologi gigitan ular
3. Memahami tentang patofisiologi gigitan ular
4. Memahami tentang manifestasi klinis gigitan ular
5. Memahami tentang komplikasi klien gigitan ular
6. Memahami tentang penatalaksanaan gigitan ular
7. Melakukan pengkajian
gawat darurat pada klien dengan gigitan ular
8.
Memberikan asuhan
keperawatan gawat darurat pada klien dengan
gigitan ular
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN GIGITAN ULAR
Gigitan ular
adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun
binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang
dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian
kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai
efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa
zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun
mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali
mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir
predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
2.2 ETIOLOGI
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi
pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak
terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa
ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah
menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh
darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada
mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa
ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam
(nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan
dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh
limfe.
c. Bisa
ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat
kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular
yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular
yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa
ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.
g. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bias
2.3 CIRI GIGITAN ULAR
Ular
berbisa memiliki bekas luka gigitan 2 titik. Sedangkan ular yang tidak berbisa
biasanya meninggalkan bekas luka gigitan berbentuk huruf U dengan jumlah
luka yang banyak. Warna kulit ular berbisa biasanya terang dan mengkilap.
Selain ciri-ciri tersebut gigitan ular berbisa biasanya disertai rasa nyeri dan
perubahan warna pada lokasi gigitan dalam beberapa saat setelah digigit.
2.4 PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik
tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai
system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada
saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang
dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat
mengakibatkan gagal napas.
2.5
DERAJAT GIGITAN ULAR
1. Derajat 0
v Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
v Pembengkakan
minimal, diameter 1 cm
2. Derajat I
v Bekas gigitan 2 taring
v Bengkak dengan
diameter 1 – 5 cm
v Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3. Derajat II
v Sama dengan derajat I
v Petechie, echimosis
v Nyeri hebat dalam 12 jam
4. Derajat III
v Sama dengan derajat I dan II
v Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh
tubuh
5. Derajat IV
v Sangat cepat memburuk
2.6 TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua
gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis
(kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular
berbisa, yaitu terjadi oedem
(pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan
5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan
otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan
gejala khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular
cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10
jam muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan,
sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan
kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam
berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan
muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian
polivalen crotalidae antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:
a. Efek
lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa
sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah
dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar
sisi gigitan luka.
b.
Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia
dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ
abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari
mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan
syok atau bahkan kematian.
c. Efek
sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek
langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama
secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum
mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan
bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian
otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
2.7
PEMERIKSAAN PENUNJANG GIGITAN ULAR
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah
lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula
darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan
fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi
bekuan.
2.8 PENANGANAN KEGAWATAN GIGITAN ULAR
a. Prinsip penanganan
pada korban gigitan ular:
1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran
bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi.
b. Pertolongan pertama
:
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi
segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan
prinsip RIGT, yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan
menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke
tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau
lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik
balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau
kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul ada korban.
c. Prosedur Pressure
Immobilization (balut tekan):
1) Balut tekan pada
kaki:
a) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b) Keringkan sekitar luka gigitan.
c) Gunakan pembalut elastis.
d) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah
pangkal jari kaki naik ke atas.
f) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g) Jangan melepas celana atau baju korban.
h) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan
sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap
pink).
i) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2) Balut
tekan pada tangan:
a) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari
tangan tidak dibalut).
b) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90
derajat.
c) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal
lengan.
d) Pasang papan sebagai fiksasi.
e) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
d.Penatalaksana Lanjut
§
Penatalaksanaan
jalan napas
§
Penatalaksanaan
fungsi pernapasan
§
Penatalaksanaan
sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
§
Beri
pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,
imobilisasi (dengan bidai)
§
Ambil 5 – 10
ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb,
leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa
waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
§
Apus tempat
gigitan dengan dengan venom detection
§
Beri SABU
(Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
§
10-50 LD50
bisa Ankystrodon
§
25-50 LD50
bisa Bungarus
§
25-50 LD50
bisa Naya Sputarix
§
Fenol 0.25%
v/v
Teknik
pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada
luka tidak dianjurkan.
Indikasi
SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
·
Derajat 0
dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
·
Derajat II:
3-4 vial SABU
·
Derajat III:
5-15 vial SABU
·
Derajat IV:
berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Luck
Derajat
|
Beratnya
evenomasi
|
Taring
atau gigi
|
Ukuran
zona edema/ eritemato kulit (cm)
|
Gejala
sistemik
|
Jumlah
vial venom
|
0
|
Tidak ada
|
+
|
<>
|
-
|
0
|
I
|
Minimal
|
+
|
2-15
|
-
|
5
|
II
|
Sedang
|
+
|
15-30
|
+
|
10
|
III
|
Berat
|
+
|
>30
|
++
|
15
|
IV
|
Berat
|
+
|
<>
|
+++
|
15
|
Pedoman terapi SABU menurut Luck
·
Monitor
keseimbangan cairan dan elektrolit
·
Ulangi
pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
§
Jika
koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah
tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3
jam berikutnya, dst.
§
Jika
koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka
monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor
perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk
tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
·
Terapi
suportif lainnya pada keadaan :
§
Gangguan
koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
§
Perdarahan:
beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi
trombosit
§
Hipotensi:
beri infus cairan kristaloid
§
Rabdomiolisis:
beri cairan dan natrium bikarbonat
§
Monitor
pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
§
Sindrom
kompartemen: lakukan fasiotomi
§
Gangguan
neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas
atropin
§
Beri tetanus
profilaksis bila dibutuhkan
§
Untuk
mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat –
obatan narkotik depresan
·
Terapi
profilaksis
§
Pemberian
antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa,
Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
§
Beri toksoid
tetanus
§
Pemberian
serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
2.9
KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
a. Syok hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
2.10
ASKEP GAWAT DARURAT DENGAN GIGITAN ULAR
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000:
871-873), dasar data pengkajian pasien, yaitu:
a. Aktivitas
dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas
Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan,
menyangkal, menarik diri.
d. Eliminasi
e. Makanan/cairan
f. Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan
h. Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i. Seksualitas
j. Integumen
Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
d. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
3. Perencanaan
Diagnosa I :
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal,
bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
1) Pertahankan jalan napas
klien.
Rasional:
Meningkatkan ekspansi paru-paru.
2) Pantau frekuensi dan
kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
3) Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
4) Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
5) Berikan O2 melalui
cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
Diagnosa II :
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur
tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan
tepat.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
2) Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
3) Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
4) Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
Diagnosa III :
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari
kedinginan.
Intervensi:
1) Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2) Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang
disukai untuk mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
3) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen
tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
4) Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan
alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
5) Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
6) Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
Diagnosa IV :
Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat,
mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani,
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang
efektif.
Intervensi:
1) Berikan penjelasan dengan
sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan
ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2) Tunjukkan keinginan untuk mendengar
dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
3) Kaji status mental, termasuk suasana
hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi
untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien
menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan,
yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
4) Dorong pasien untuk bicara tentang
luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5) Jelaskan pada pasien apa yang
terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.
Diagnosa V :
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak
demam.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
2) Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti
septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada
organisme infeksius.
3) Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi
daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
4) Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
5) Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat
perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan yang mencakup tindakan tindakan independen
(mandiri) dan kolaborasi. Akan tetapi implementasi keperawatan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien. Tindakan mandiri adalah
aktivitas perawatan yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan
bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama seperti
dokter dan petugas kesehatan lain. (Tarwoto Wartonah, 2004: 6).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta
apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prinsip
Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit,
menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke
seluruh tubuh sebelum dibawa ke rumah sakit. Pada
beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket dianjurkan. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan metode
penanganan yang lebih baik yakni metode pembalut dengan penyangga. Idealnya
digunakan pembalut dari kain tebal, akan tetapi jika tidak ada dapat juga
digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek menyerupai pembalut. Metode
ini dikembangkan setelah dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh limfa
dari korban. Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban
mendapat ditangani secara lebih baik di rumah sakit
3.2 Saran
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan
kepada dokter mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan alergi
pada obat – obatan tertentu, atau pemberian antivenom sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan adanya reaksi dari
pemberian antivenom selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo
AW, et.al. (ed.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. 2006. FK UI.
Jakarta. Hlm. 210-212.
Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah,
Edisi XI, Gajah Mada University Press, 1992
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical
Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company,
Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan
Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC,
Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical
Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB.
Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical
Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company,
Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan
Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC,
Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical
Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB.
Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990