2.1
PENGERTIAN GIGITAN ULAR
Racun ular adalah racun hewani
yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari
berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik
yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap
suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ.
Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang
bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun
ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang
toksik dan merusak lebih sedikit jaringan
Bisa adalah suatu zat
atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga
berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap
bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas
satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein,
yang memiliki aktivitas enzimatik.
2.2
PENYEBAB GIGITAN ULAR
Terdapat 3 famili ular yang
berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat
menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang
menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang
tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan
dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang
telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa
ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun
terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan)
sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel
darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan
keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan
pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak
dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit
sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan
peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa
ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis
yang sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan
kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular
yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot
jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular
yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan
zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan
peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
g. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai
zat aktif pada penyebaran bisa
2.3
CIRI GIGITAN ULAR
2.4
PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR
Bisa ular yang masuk ke dalam
tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar melalui peredaran
darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem
kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem
neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem
pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga
menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler,
toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi.
Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan
terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
2.5
TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR
Secara umum, akan timbul
gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular. Gejala lokal: edema,
nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang
terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular
berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan
5P: pain (nyeri), pallor (muka
pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada
gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular
cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10
jam muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan,
sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan
kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular
hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam
berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan
muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian
polivalen crotalidae antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:
a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau
beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka
dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra
juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
b. Perdarahan, gigitan oleh
famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan
perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat
berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang
lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan
kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut
dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat
beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat
kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah
visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia
russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung
menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang
mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat
menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat
secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan
kebutaan sementara pada mata.
2.6 PEMERIKSAAN
PENUNJANG GIGITAN ULAR
Pemeriksaan laboratorium
dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap, penentuan golongan
darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung
trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk
gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah,
waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.
2.7
PENANGANAN KEGAWATAN GIGITAN ULAR
a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran
bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi.
b. Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi
segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan
prinsip RIGT, yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan
lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban
untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis
tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah
sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization
(balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul ada korban.
c. Prosedur Pressure Immobilization (balut
tekan):
1) Balut tekan pada kaki:
a) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b) Keringkan sekitar luka gigitan.
c) Gunakan
pembalut elastis.
d) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal
jari kaki naik ke atas.
f) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g) Jangan melepas celana atau baju korban.
h) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan
sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap
pink).
i) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2) Balut
tekan pada tangan:
a) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari
tangan tidak dibalut).
b) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90
derajat.
c) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal
lengan.
d) Pasang papan sebagai fiksasi.
e) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
d.Penatalaksana
Lanjut
§
Penatalaksanaan jalan napas
§
Penatalaksanaan fungsi pernapasan
§
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan
kristaloid
§
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban
ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
§
Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu
trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin,
urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10
menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
§
Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
§
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang
dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
§
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
§
25-50 LD50 bisa Bungarus
§
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
§
Fenol 0.25% v/v
Teknik
pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada
luka tidak dianjurkan.
Indikasi
SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
·
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan
evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU
·
Derajat II: 3-4 vial SABU
·
Derajat III: 5-15 vial SABU
·
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman
terapi SABU menurut Luck
Derajat
|
Beratnya evenomasi
|
Taring atau gigi
|
Ukuran zona edema/ eritemato kulit (cm)
|
Gejala sistemik
|
Jumlah vial venom
|
0
|
Tidak ada
|
+
|
<>
|
-
|
0
|
I
|
Minimal
|
+
|
2-15
|
-
|
5
|
II
|
Sedang
|
+
|
15-30
|
+
|
10
|
III
|
Berat
|
+
|
>30
|
++
|
15
|
IV
|
Berat
|
+
|
<>
|
+++
|
15
|
Pedoman terapi SABU menurut Luck
·
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
·
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann
antivenom
§
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak
meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU.
Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
§
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi
kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan
Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
·
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
§
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen
(dan antivenin)
§
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen
darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
§
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
§
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
§
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau
anggota badan
§
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
§
Gangguan neurologik: beri Neostigmin
(asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
§
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
§
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau
kodein, hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan
·
Terapi profilaksis
§
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak
yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
§
Beri toksoid tetanus
§
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo,
2006)
2.8 KOMPLIKASI
GIGITAN ULAR
a. Syok hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
2.9
ASKEP KEGAWATAN GIGITAN ULAR
1. Pengkajian
Pengkajian
keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data
pengkajian pasien, yaitu:
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan,
menyangkal, menarik diri.
d. Eliminasi
Gejala: Diare.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot
(malnutrisi).
f. Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h. Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i. Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j. Integumen
2. Diagnosa
Keperawatan
a.
Gangguan
jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
b.
Nyeri akut berhubungan
dengan proses infeksi.
c.
Hipertermia
berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek
langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi
temperatur, proses infeksi.
d.
Ketakutan/ansietas
berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi,
mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
e.
Resiko
infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi
infeksi, jaringan traumatik luka.
3. Perencanaan
Diagnosa I :
Gangguan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas,
frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
1) Pertahankan jalan napas
klien.
Rasional:
Meningkatkan ekspansi paru-paru.
2) Pantau frekuensi dan
kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
3) Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
4) Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
5) Berikan O2 melalui
cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
Diagnosa II :
Nyeri akut berhubungan dengan
proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri
berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks,
berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
2) Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
3) Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
4) Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
Diagnosa III :
Hipertermia berhubungan dengan
peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari
sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur,
proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam
batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi:
1) Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2) Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang
disukai untuk mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
3) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen
tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
4) Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan
alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
5) Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
6) Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
Diagnosa IV :
Ketakutan/ansietas berhubungan
dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat
pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menyatakan kesadaran perasaan
dan menerimanya dengan cara yang sehat, mengatakan ansietas/ketakutan menurun
sampai tingkat dapat ditangani, menunjukkan keterampilan pemecahan masalah
dengan penggunaan sumber yang efektif.
Intervensi:
1) Berikan penjelasan dengan
sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan
ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2) Tunjukkan keinginan untuk mendengar
dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
3) Kaji status mental, termasuk suasana
hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi
untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien
menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan,
yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
4) Dorong pasien untuk bicara tentang
luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5) Jelaskan pada pasien apa yang
terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.
Diagnosa V :
Resiko infeksi berhubungan
dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan
traumatik luka.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka
tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
2) Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti
septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada
organisme infeksius.
3) Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi
daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
4) Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
5) Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat
perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan
merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan
yang mencakup tindakan tindakan independen (mandiri) dan
kolaborasi. Akan tetapi implementasi keperawatan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi pasien. Tindakan mandiri adalah aktivitas perawatan yang
didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk
atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
yang didasarkan hasil keputusan bersama seperti dokter dan petugas kesehatan
lain. (Tarwoto Wartonah, 2004: 6).
5. Evaluasi
Evaluasi
merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta
apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar